Ruang historis kembali dibuka dan diperbincangkan dalam pertemuan 17 tokoh adat tersebut untuk menemukan penegasan bahwa tanah tempat mereka berpijak ini adalah “rumah” bersama yang dimiliki secara komunal. Bahwa dalam konteks sejarah, Kulisusu dan Muna (kabupaten induk) pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-sama sebagai barata Kesultanan Buton. Selain itu, dipaparkan pula perihal sejarah terintegrasinya Distrik Kulisusu dalam wilayah Kabupaten Muna pada 1959, berdasarkan pada keputusan Sultan Buton, La Ode Muhamad Falihi. Dengan demikian, pertemuan ini juga disebut-sebut sebagai gerakan pembatalan SK sultan Buton pada saat pembentukan Kabupaten Muna, 1959.
Musyawarah 17 tokoh adat Kulisusu di atas merupakan upaya pewacanaan ulang masa lalu sebagai dasar penentuan identitas kekinian. Melalui artikulasi historis, 17 tokoh adat Kulisusu mampu menunjukkan dengan tegas tapal batas budaya orang Kulisusu dan orang Muna (sebagai kabupaten induk). Sebagaimana pendapat Stuart Hall (1996), pertemuan 17 tokoh adat Kulisusu tersebut dapat dikatakan sebagai praktik-praktik diskursus yang spesifik oleh institusi-institusi yang spesifik pula (institusi adat) guna mereproduksi identitas pembeda antara “kita” (orang Kulisusu) dan “mereka” (orang Muna).4 Identitas pembeda antara “kita” dan “mereka” sangat penting untuk membangkitkan nilai-nilai nasionalisme lokal sebagai “roh” perjuangan politik pemekaran kabupaten. Sumber daya “pembeda” tersebut secara internal tersedia dalam ruang historis, sebab setiap individu dalam suatu masyarakat tidak saja dibentuk oleh hubungan-hubungan kekinian, melainkan juga dibentuk oleh hubungan-hubungannya dengan masa lalu.
Reviews
There are no reviews yet.