Tidak pernah hilang dari memori kolektif orang-orang Gayo tentang sebuah pengakuan, baik dalam mitos maupun dalam realitas sejarah, bahwa negerinya, Tanah Gayo adalah bagian dari kekuasaan Sultan Aceh, karena tidaklah sah kekuasaan seorang kejurun penguasa Gayo tanpa Sarakata (Naskah Pengangkatan) dan Bawar (Golok Pusaka). Keduanya merupakan regalia legalitas Sultan Aceh.
Akan tetapi seperti kata C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang diterbitkan tepat 100 tahun lalu (1903) Het Gajo Land en zijne Bewoners, sekalipun Gayo adalah bagian yang terpenting dari Aceh tapi Gayo bukan Aceh. Meskipun secara politis Gayo memiliki peran dan keterikatan emosional yang kuat dalam sejarah politik Aceh, tapi karakteristik ethnisnya meminta perhatian khusus untuk tidak dapat disamakan begitu saja dengan Aceh Pesisir. Pendapat C. Snouck Hurgronje ini adalah bagian yang terpenting dari nasehat akademisnya pada penguasa ketika itu agar tidak gegabah dalam mengambil kebijakan di Aceh. Dewasa ini letupan kebhinnekaan mulai muncul ke permukaan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Seiring dengan itu, Otonomi Daerah mencari bentuk dan berusaha mengenali wajahnya dalam sejarah. Dalam suasana seperti ini, aktualisasi kebhinnekaan itu merupakan kebutuhan yang mendesak, dan makna dari pemahaman multikultural menjadi penting artinya. Karena itulah buku RIAK DI LAUT TAWAR ini, ada gunanya untuk dibaca. Pertama, menambah khasanah pengetahuan tentang kebudayaan dan sejarah suatu masyarakat; Kedua, membuat kita menjadi lebih arif melangkah ke masa depan.
Reviews
There are no reviews yet.