Pergolakan sosial di Brebes memiliki makna penting sebagai peristiwa lokal revolusi Indonesia karena merupakan sebuah revolusi sosial yang memiliki ciri-ciri khusus sesuai dengan derajat lokalitas karakteristik masyarakat Brebes. Dalam konsepsi ini, revolusi sosial dimaknai sebagai suatu upaya perubahan untuk mengubah struktur masyarakat kolonial-feodal menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan. Tatanan masyarakat demokratis merupakan cita-cita perjuangan yang mulai dirintis oleh Sarekat Islam di Pekalongan pada tahun 1918 yang kemudian diteruskan oleh gerakan PKI dan Sarekat Rakyat sampai dengan tahun 1926, tetapi revolusi baru ketemu momentum pada bulan Oktober-November 1945. Pada bulan-bulan inilah pergolakan sosial bergolak dengan munculnya berbagai kekuatan dalam revolusi, terutama yang paling menonjol adalah kekuatan Islam, PKI, dan tentara.
Benang merah dari peristiwa lokal ini adalah kemerosotan kehidupan sosial-ekonomi rakyat pedesaan pada masa kolonial, kemudian ditambah lagi dengan kemelaratan akibat “kekerasan” ekonomi masa pendudukan Jepang, telah memunculkan luapan amarah rakyat pasca-Proklamasi Kemerdekaan 1945. Mereka melakukan aksi-aksi politik dan melakukan pendulatan terhadap elite birokrasi yang semasa penjajahan dianggap sebagai “perpanjangan tangan penjajah”. Hampir seluruh elite birokrat di Brebes, pangreh praja (bupati, wedana, dan camat), dan sebagian besar kepala desa “didaulat” dan diganti oleh aparat pemerintahan baru, yang terdiri dari kelompok-kelompok Islam, Sosialis, dan Komunis. Terhadap aksi ini, istilah perampokan, penyelewengan, dan pemberontakan sering digunakan di samping istilah pergerakan dan perjuangan. Untuk peristiwa di Brebes ini, adalah tidak berlebihan jika penulis menggunakan istilah revolusi sosial dalam menyebutnya.
Reviews
There are no reviews yet.