Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, bila melirik pada usianya yang telah menginjak baligh; 18 tahun, boleh dikatakan lamban. Ini menjadi pertanyaan besar mengapa di negara berpenduduk Muslim terbesar, keberadaan ekonomi Islam sangat lemah, bahkan tidak begitu diperhatikan. Baik dari kalangan pemerintah pun masyarakat. Ikon ekonomi Islam melalui perbankan syari’ah, kritik terhadap sistem kepitalisme-neoliberalisme, tidak begitu ampuh untuk menggugah pemerintah, bahkan masyarakat menerima tawaran sistem ekonomi yang, meminjam istilah Yudi Latif, ramah agama. Yang ada justeru sebaliknya, pernyataan “tidak ada beda antara yang syari’ah dengan konvensional, bahkan yang syari’ah justeru lebih mahal.”
Ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang mengutamakan dimensi moral atau normatif dalam pelaksanaan aktifitas ekonomi. Norma-normanya diderivasi dari Qur’an dan Sunnah, sehingga menjadi prinsip-prinsip dasar. Ia bukanlah seperangkat “aturan atau hukum” yang telah tetap, dan tidak bisa berubah. Ini menjadi prinsip dasar dalam bermua’amalah. Kreatifitas manusia dituntut agar menghasilkan pola yang baik, teratur dan bisa memenuhi kesejahteraan berasama tanpa harus bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang ada.
Akan tetapi, berbeda dengan apa yang kita temukan di Indonesia. Ada kesan, bahwa dengan menggunakan akad “berbahasa Arab” seolah transaksi yang dilakukan telah Islami. Ini memperlihatkan betapa kuatnya hegemoni istilah Arab, yang secara struktural dijadikan sebuah keharusan (baca; ketunggalan makna). Produk budaya Arab-Islam-Klasik, disebut Islami. Padahal tidak begitu adanya. Dan karena itu, perlu adanya upaya menjermahkan norma-norma ekonomi Islam itu dalam kehidupan masyarakat. Ini taklain adalah wujud psikologi kolonial pada era pasca kolonial.
Bila demikan, jika norma-norma ekonomi Islam itu perlu diterjemahkan, apakah kearifan lokal masyarakat Indonesia bisa menjadi wujud terjemahan itu? Bagaimana kearifan lokal itu dipahami, sehingga bisa menjadi basis pengembangan ekonomi Islam di Indonesia? Dengan membedah paradigma ekonomi Islam yang selama ini berkembang, saya ingin mengusulkan agar ekonomi Islam dikembangkan melalui nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat. Karena pada dasarnya, pembedahan paradigma berlandas pada teori-teori (teori ushul al-fiqh, sturkturasi Anthony Giddens, fenomenologi, sosiologi kritis Jurgen Habermas, Postkolonial, dan lain-lain) yang dibahas dalam buku ini hendak menunjukkan bahwa kearifan lokal bisa menjadi manifestasi nilai-nilai Islam dalam berekonomi.
Membedah Paradigma Ekonomi Islam, Rekonstruksi Paradigma Ekonomi Islam Berbasis Kearifan Lokal
Rp45,000.00
Reviews
There are no reviews yet.